[Transkrip Indonesia] Prinsip Qurani Dalam Mendidik Anak – Oleh Nouman Ali Khan


[QS Al-Ahqof Ayat 17 – 20]

Yaquululloohu ‘Azza wa Jalla fii kitaabihil kariim, ba’da an aquula a’uudzu billaahi minasy-syaitoonir rojiim.

17. “Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, ‘Ah!'”
17. “…Apakah kamu berdua memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan (dari kubur),
17. “…padahal beberapa umat sebelumku telah berlalu.”
17. “Lalu kedua orang tuanya itu memohon pertolongan kepada Allah,” (seraya berkata),
17. “…’Celaka kamu, berimanlah!'”
17. “…’Sungguh, janji Allah itu benar!’ Lalu, dia (anak itu) berkata, ‘Ini hanyalah,”
17. “…dongeng orang-orang dahulu.”
18. “Mereka itu orang-orang yang telah pasti,”

18. “…terkena ketetapan (azab) bersama umat-umat dahulu,”
18. “…sebelum mereka, dari (golongan) jin dan manusia.
Mereka adalah orang-orang yang rugi”
19. “Dan setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan,”
19. “…dan agar Allah mencukupkan balasan perbuatan mereka, dan mereka tidak dirugikan.”

Allahumma laa taj’alnaa minadz-dzaalimiin.

Robbisyroh lii shodrii, wa yassir lii amrii, wahlul uqdatan min lisaanii, yafqohuu qoulii.

Alloohumma tsabbitnaa ‘indalmauti bilaa ilaaha illallooh. 
Walloohummaj’alna minalladziina aamanuu wa ‘amilush-shoolihat, wa tawashou bil-haq, wa tawashou bish-shobr, aamiin ya robbal-‘aalamiin.

Khutbah hari ini terinspirasi oleh banyaknya jumlah orang tua yang berbincang-bincang dengan saya. Pembicaraan itu berlangsung di sini, di Amerika Serikat, di lingkungan komunitas lokal kita.

Pembicaraan yang hampir sama juga saya alami di beberapa negara yang berbeda di Eropa. Demikian pula di dunia muslim, jazirah Arab, bahkan di negara-negara seperti Srilanka atau Malaysia. Perbincangan-perbincangan tersebut sedikit bervariasi satu sama lain, tetapi pada umumnya intinya sama saja.

Saya ingin menggunakan kesempatan khutbah ini untuk mengingatkan diri Saya, karena saya juga orang tua. Mengingatkan diri saya dan semua orang tua yang hadir di sini dengan kenyataan tertentu yang Allah tunjukkan dengan jelas. Bukan kenyataan yang mudah diterima, tetapi jelas (memang terjadi).

Khutbah ini terutama ditujukan kepada dua hadirin. Di satu sisi ditujukan kepada para orang tua, di sisi lain juga ditujukan kepada anak mereka. Jadi, Anda yang sedang mendengarkan sebagai orang tua, pada saat bersamaan juga mendengarkan sebagai anak dari orang tua Anda.

Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan di banyak ayat, hubungan antara orang tua dan anaknya dengan memberi teladan.

Jadi, daripada berbicara mengenai teori mendidik anak, Allah memberikan banyak sekali studi kasus orang tua dan anak, sehingga Anda memiliki beberapa teladan luar biasa.

Misalnya kisah Ibrahim ‘alaihissalam yang ayah Beliau – sebagian berpendapat ia adalah paman Beliau, tetapi secara bahasa masih berarti Ayah, yakni Azar – membuat berhala, bahkan Beliau sebenarnya pemasok sebagian besar berhala yang disembah di kota itu.

Putranya, tumbuh menjadi pemimpin besar dari konsep tauhid dan iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga semua kepercayaan monoteisme sedikit banyak terhubung dengan konsep tersebut.

Kenyataannya, secara keseluruhan Islam juga disebut “millata abiikum Ibrahiim,” agama Bapakmu, Ibrahim.

Jadi sederhananya, di satu sisi Anda memiliki ayah yang cukup kacau, namun ayah ini memiliki putra yang luar biasa. Padahal putranya ini tidak dibesarkan di lingkungan yang baik, yang mendukung perkembangan iman dan semacamnya, tapi justru lingkungan yang relatif rusak.

Semua orang di sekitarnya menyembah berhala, tidak seorang pun berpikir seperti dia. Kenyataannya dia berjuang sendiri dan dianggap pembangkang. Saat mengecam berhala-berhala tersebut dia diusir dari rumahnya.

Jadi hal pertama yang saya tekankan dari contoh ini adalah iman seseorang, kepercayaan seorang pemuda atau pemudi, menurut Allah ‘Azza wa Jalla, apakah selalu tergantung kepada lingkungannya?

Seringkali kita menyalahkan lingkungan;

Apa yang bisa kita lakukan? Kita hidup di Amerika.

Apa yang bisa dilakukan? Mereka belajar di sekolah umum.

Apa yang bisa kita lakukan? Mereka berada dalam lingkungan yang buruk.

Tentu saja mereka akan terpengaruh karenanya.

Ya, itu benar sampai pada taraf tertentu, namun ada sebabnya mengapa Allah memberikan contoh ini. Ini adalah perjalanan hidup Ibrahim ‘alaihissalam sebelum dia menjadi Nabi. Ketika menerima wahyu situasinya sudah berbeda.

Pertama dan paling penting, dia mulai mempertanyakan dan menyelidiki serta mengkritisi hal-hal yang terjadi di sekitarnya.

Itu menggambarkan kepada kita bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memampukan setiap manusia terlepas dari lingkungan tempat ia berada, terlepas dari keadaan atau kondisi masyarakat saat itu, untuk bisa berpikir sendiri.

Jika ia memilih mengikuti orang lain dan tidak pernah berpikir sendiri, maka itu tanggung jawabnya sendiri.

Mereka tak berhak bertanya, “Apa yang bisa saya lakukan, Saya berada dalam lingkungan yang membutakan.

Tidak, Allah memberi Anda mata, kemampuan melihat sendiri.

Namun di sisi yang lain, Anda juga melihat contoh yang berbeda. Bagi saya, salah satu contoh yang paling unik adalah kisah Ya’qub ‘alaihissalam.

Dia memiliki anak dengan dua sifat berbeda; baik dan buruk. Ayahnya sama. Mereka yang mencoba mendebat, saya kira tidaklah tepat untuk berpendapat bahwa Ya’qub ‘alaihissalam bukan seorang ayah yang hebat. Dia seorang Nabi, dan Nabi terkenal dengan keadilannya, kebaikannya, ke-ihsanan-nya kepada semua orang, khususnya keluarganya sendiri.

Jadi tidak terbayangkan untuk berasumsi bahwa dia adalah ayah yang baik bagi Yusuf, dan bagi Bunyamin, anak bungsunya, tapi bukan ayah yang sama baiknya bagi putranya yang lain. Itu tidak masuk akal. Dia seorang ayah, dia melakukan yang terbaik untuk membesarkan anak-anaknya. Di kemudian hari – jika Anda mempelajari surat Yusuf dengan teliti -, dia bahkan memberi nasehat kepada putra-putra yang melawan kepadanya.

Jadi tidak ada alasan untuk berpikir bahwa dia punya standar ganda. Intinya, dia sebagai ayah dan kepala rumah tangga, dan orang tua, telah melakukan apa yang dia mampu untuk memberikan lingkungan dan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya.

Namun hasil yang diperoleh sama sekali di luar dugaan. Mereka (putra-putranya) berada di dua kutub yang berbeda. Yang membuat hal ini semakin menarik, bahwa Yusuf ‘alaihissalam terpisah darinya pada usia sangat muda.

Jadi dia tidak lagi memperoleh teladan dari ayahnya, Yusuf ‘alaihissalam tidak lagi memperoleh bimbingan orang tua, saat dia tumbuh menjadi pemuda dan berkembang di tengah masyarakat.

Kita tahu bahwa Allah ‘Azza wa Jalla telah memberinya wajah rupawan. Allah memberinya kecerdasan, karakter yang hebat. Tapi dia tinggal di lingkungan yang rusak, di rumah seorang politisi, di sana dia menjadi pelayan muda tanpa bimbingan orang tua. Dia bisa melakukan apa saja yang dia inginkan dalam dunianya itu. Tambahan lagi, kelak dia dituduh melakukan kesalahan.

Jadi dia berada di lingkungan yang buruk, dan ngomong-ngomong dari sana dia bahkan masuk ke lingkungan yang lebih buruk lagi di dalam penjara. Orang-orang yang ada di penjara bukanlah orang-orang baik.

Jadi dia pindah dari satu lingkungan buruk ke lingkungan buruk berikutnya. Saat seseorang berada dalam lingkungan yang buruk seperti itu untuk waktu lama, Anda bisa bayangkan betapa buruk perilakunya ketika dia keluar.

Sesuatu akan terjadi padanya, dia akan terpengaruh sifat dan kualitas lingkungan sakit yang melingkupinya tersebut. Tentu itu tidak terjadi padanya, dipertahankannya karakter aslinya.

Tapi jika Anda bandingkan itu dengan saudaranya yang lain, yang pada dasarnya tinggal di rumah seorang Nabi, Mereka tinggal di lingkungan terbaik yang mungkin ada, bisa Anda bayangkan jika ayah Anda adalah seorang Nabi.

Tidak mungkin Anda dibesarkan dan ditawari kesempatan yang lebih baik dari itu untuk dibimbing dan dibesarkan dengan baik. Namun saudara-saudaranya berkomplot, berdusta, dan memfitnah. Mereka melakukan ini bertahun-tahun dan bahkan tidak menghormati ayahnya, padahal ayahnya tidak salah apa-apa.

Jadi intinya yang ingin saya sampaikan sejauh ini, bahwa di satu sisi ada orang tua seperti Azar yang tidak melakukan apapun, namun produknya sangat menakjubkan, Ibrahim ‘alaihissalam. Di sisi lain ada Ya’qub ‘alaihissalam yang melakukan segalanya, dan hasilnya kadang luar biasa seperti Yusuf ‘alaihissalam, atau tidak seperti saudaranya yang lain, yang bertahun-tahun membangkang.

Jika Anda mempelajari bagian akhir surat Al-Kahfi, akan Anda temukan kisah menarik. Pertama tentang seorang pemuda yang hidup sebagai nelayan di laut. Menariknya, setelah bercerita tentang pemuda nelayan ini, ada dua cerita lain, keduanya tentang dua anak.

Seorang anak lelaki dibunuh, penyebabnya yang diceritakan kemudian ternyata bahwa anak ini nantinya akan tumbuh meneror dan menimbulkan ketakutan kedua orang tuanya. Yang menarik ketika kita diceritakan tentang orang tuanya, bahwa, “Kaan abawahu mu’minain.” (QS. Al-Kahfi ayat 80)

Kedua orang tuanya sholeh, orang beriman yang baik.

Jadi ini adalah orang tua yang baik yang akan membesarkan seorang anak sebaik yang mereka mampu, namun anak itu akan menjadi sumber ketakutan mereka. Dia akan menimbulkan kesulitan besar dalam hidup mereka.

“Thughyaanan wa kufran.” (QS. Al-Kahfi ayat 80), demikan Qur’an menggambarkannya.

Durhaka dan tidak beriman, dia akan meninggalkan Islam, dan menjadi anak durhaka yang mengerikan bagi kedua orang tuanya. Meski kedua orang tua tersebut tidak melakukan kesalahan dalam membesarkannya.

Kebalikannya, ada beberapa anak yatim yang tidak kita kenal sedikit pun, Musa ‘alaihissalam disuruh membangun sebuah dinding. Dia tidak mengerti mengapa dia harus membangunnya,

Pada akhirnya ketika alasan pembangunan dinding itu dikemukakan kepadanya adalah menyangkut anak-anak lelaki tersebut, yang ayahnya orang sholeh, “Wa kaana abuhumaa shaalihan.” (QS. Al-Kahfi ayat 82)

Ayah mereka orang baik yang meninggal beberapa saat lalu, sekarang anak-anak itu yatim dan dibesarkan di jalanan. Namun Allah ‘Azza wa Jalla menginginkan mereka memiliki kehidupan yang baik, Dia ingin menyelamatkan masa depan mereka.

Yang ingin saya sampaikan bahwa dalam kehidupan ini, sejauh itu menyangkut anak-anak kita, kita sama sekali tidak memiliki kendali (atas mereka). Kita punya tanggung jawab tetapi tidak punya kendali. Kita harus paham perbedaan kedua hal tersebut.

Saya punya tanggung jawab kepada orang tua saya, tapi saya tidak bisa mengendalikan mereka. Saya punya tanggung jawab kepada anak-anak saya hingga umur tertentu, hingga mencapai umur dimana mereka langsung bertanggung jawab kepada Allah.

Ketika mencapai usia baaligh, mereka dianggap dewasa oleh Allah, artinya saat berdiri di pengadilan Allah, Allah takkan menanyai Anda (orang tuanya) lebih dahulu,

Allah langsung menanyai mereka karena “Kulluhum aatiihi yaumal qiyaamati fardaa.” (QS. Maryam ayat 95)

Semua orang akan datang ke hadapan Allah sendiri-sendiri, tanpa seorang pun.

Jadi sementara kita membesarkan anak-anak kita, saat mereka mencapai titik tertentu. Cinta kita kepada mereka takkan pudar, perhatian kita pada mereka tidak sirna, doa-doa kita selalu menyertai mereka, harapan kita bagi kehidupan yang baik untuk mereka selalu ada.

Namun apakah Allah akan meminta pertanggungjawaban Anda atas kesalahan yang mereka buat? Tidak, jika Anda sudah menasehati mereka semampu Anda selanjutnya Anda harus “mundur”.

Ini juga dipahami oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam. Pria dengan kualitas terbaik yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Suami terbaik, pemimpin terbaik, Nabi terbaik, ayah terbaik, dan apa yang dikatakannya kepada putrinya?

“Yaa Faathimatu bintu Muhammad.”

“Faatimah putri Muhammad,” ujarnya.

Ittaqillaah, kamu harus berhati-hati kepada Allah.”

“Fa inni laa amliku laki minallahi syaia.”

Sungguh aku tidak kuasa untuk membelamu di hadapan Allah. Engkau harus menanggungnya sendiri. Aku tahu Engkau putriku, tapi itu tidak akan membantumu. Itu tidak cukup. Engkau harus menanggung perbuatanmu sendiri di hadapan Allah.

Ini adalah pelajaran penting yang harus kita pahami. Kita tidak bisa mengubah lingkungan anak-anak kita, dan berharap mereka akan menjadi anak yang sempurna.

Kita tidak bisa nantinya merasa frustasi saat mereka mengambil keputusan buruk. Karena banyak dari anak-anak kita akan membuat keputusan buruk, sama seperti kita dulu. Kita pun pernah mengecewakan orang tua kita. Kita juga pernah menyulitkan mereka.

Jadi, yang dilakukan Allah ‘Azza wa Jalla di dalam Al Quran adalah menggambarkan sebuah skenario.

Contoh yang akan saya berikan, pertama untuk mengingatkan kita bahwa anak adalah amanah dari Allah. Sebuah kepercayaan yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla. Sebaik apa kita membesarkan mereka, sudahkah kita melakukan tugas kita? Itu saja.

Nuh ‘alaihissalam tidak ditanya tentang bagaimana ia membesarkan putranya, seburuk-buruk dan sedurhakanya putranya, dia sudah menunaikan tugasnya sebagai ayah. Dia telah melakukan yang ia bisa. Sisanya adalah antara putranya dan Allah ‘Azza wa Jalla.

Ini bukan berarti bahwa kita tidak mencintai anak kita. Seperti yang saya ungkapkan, sudah banyak cerita terutama dari para ibu, kadang juga ayah, yang datang berurai air mata.

Bercerita kepada saya bagaimana mereka membesarkan anaknya, bagaimana mereka mengajari menghafal Al-Qur’an, memasukkannya ke sekolah Islam, pindah dari satu kota ke kota lainnya, dipotong gajinya, kadang sampai kehilangan usahanya. Hanya agar bisa membawa anak-anaknya ke lingkungan komunitas Muslim yang lebih baik.

Semuanya sempurna, anak-anak sangat sopan, sayang, baik, anak yang sempurna, namun tiba-tiba sesuatu merubahnya. Sekarang dia berhenti salat dan berani melawan orang tuanya. Putrinya begadang dan membentak ketika ditanya.

Saya tak tahu harus berbuat apa. saya bahkan tidak mengenalnya lagi, apakah dia masih anak yang sama? Saya harus kemana dan berbuat apa? Ini terjadi terus menerus pada ratusan, ribuan, bahkan jutaan keluarga. Anak membangkang tak terkendali. Ada banyak alasan mengapa itu bisa terjadi.

Tapi seperti yang saya katakan di awal, khutbah ini ditujukan pada dua hadirin: orang tua dan anaknya. Saya ingin berbagi dengan Anda tentang skenario ini.

Tentang membangkangnya anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang baik dan mereka tumbuh menjadi orang yang sangat berbeda. Orang tuanya bahkan tak bisa mengenalinya sebagai anak yang sama.

Saya pernah melihat kasus-kasus anak memukul ibunya secara fisik. Saya pernah melihat kasus anak mengancam dan mengutuk orang tuanya, mencuri dari orang tuanya, berbagai macam kejadian. Bagaimana bisa sampai begini?

Atau berkata, “Saya tidak menelpon ayah dan ibu lagi karena tidak percaya Islam.

Saya tidak salat dan tidak percaya lagi pada agama.

Dan sebagainya. Para orang tua itu benar-benar merasa hancur. Bukan hanya satu, tapi ribuan orang tua.

Secara singkat, bagaimana Allah menggambarkan kejadian ini? Allah ‘Azza wa Jalla berkata, “Walladzii qaala liwaalidaihi.”

Dan bagi yang berkata kepada kedua orang tuanya, “Uffil lakumaa, aku sudah tidak tahan dengan kalian.

Saya takkan mengartikan “uffil lakuma” sebagai, “Celakalah kamu.”

Ini tentang seorang anak yang selalu mendengar nasihat yang sama dari ibunya, “Shallii (salatlah).

Dia selalu berkata, “Salatlah, salatlah… salat.

Jangan lakukan ini, berhentilah begitu, jangan pulang malam.

Ibunya selalu memberinya nasehat.

Dia tidak tahan lagi, tidak ingin mendengarnya lagi, “Cukup! Hentikan!

Uffil lakuma! Kalian berdua, cukup sudah!

“Ata’idaaninii an ukhrajaa?”

Kalian terus mengatakan bahwa saya akan dibangkitkan dari kubur?

“Wa qad kharatil quruunuu min qablii!”

Sudah banyak orang meninggal tak satupun yang kembali!

Hentikan bicara tentang surga-neraka ini!

Biarkan saya menjalani hidup saya. Saya hanya ingin bahagia!

Mengapa kalian selalu bicara begitu?!

Jika memang saya harus masuk neraka, tidak masalah, apa urusan kalian?!

Dibantingnya pintu dan keluar. Ini bukan adegan baru, tapi sudah terjadi selama ribuan tahun. Lalu apa yang dilakukan orang tua?

“Wa humaa yastaghiistaani llaaha.”

Mereka memohon, ibu mereka menangis dan berdoa di malam hari. Meratap, “Ya Allah, anakku.. Apa yang harus kulakukan?

Anakku dulunya berhijab, menghafal Al-Quran, sekarang ia menjadi orang yang berbeda, Aku tidak tahu apa yang dilakukannya, kemana ia pergi, dengan siapa ia bergaul, Aku temukan narkoba di kamarnya, kemarin baunya seperti miras. Ya Allah apa yang harus kulakukan?

“Yastagitsanillaah,” istighotsah sebenarnya berarti saat penduduk satu kota sudah putus asa, hujan tak kunjung turun, dan kota itu sekarat dalam kekeringan dan penduduk yang putus asa berharap kepada Allah akan keajaiban hujan.

“Humaa yastagitsanillaah,” artinya mereka memohon keajaiban dari Tuhan.

Tolong ubah sesuatu dalam hidup saya, tolong saya Tuhan.

Lalu mereka berpaling kepada anak ini dan berkata, “Waylaka aamin.”

Celakalah kamu! Berimanlah!

Orang tuanya juga sudah jenuh, tak mampu lagi memberi nasihat yang lembut dan penuh kasih.

Wayl” bukan pilihan kata yang lembut, namun sebenarnya nama salah satu tempat terburuk di neraka.

Selain itu dalam bahasa Arab “wayl” dipakai untuk mengutuk habis seseorang. Saat mereka berkata, “Waylaka.

Celakalah kamu, terkutuklah kamu!

Kenapa mereka berkata begitu? Anak ini, kesayangan, buah cinta mereka. Anak yang mereka besarkan dengan begitu banyak pengorbanan dan perhatian ini, Seseorang yang paling Anda cintai, bisa paling menyakiti.

Anak ini sudah menimbulkan kekecewaan yang besar bagi mereka. Sehingga pada titik ini, alih-alih mendoakannya, kata-kata paling buruklah yang terucap dari mulut orang tuanya.

Bahkan orang tua bisa melontarkan kutukan bagi anaknya karena frustrasi. Para ibu melakukannya, para ayah juga. Di tengah perdebatan panas dengan anak, keluarlah kata-kata yang mengerikan itu. Quran mengabadikan peristiwa itu, “Waylaka aamin.”

Berimanlah, kenapa kamu tidak beriman? Kenapa kamu tidak seperti anak lainnya? Kenapa kamu tidak seperti mereka pada umumnya? Kenapa kamu tidak seperti Yusuf? Kenapa kamu seperti ini?

Dan ngomong-ngomong anak ini, – betapa luar biasanya Allah menggambarkan realita yang tidak ideal – Dia menggambarkannya secara pragmatis seperti kejadian sebenarnya.

Dia (anak itu) berbalik dan menjawab, “Fayaqulu maa haadzaa illa asathirul awwaliin.” (QS. Al-Ahqaf ayat 17)

Ini tak lain adalah dongeng masa lalu, bisakah ayah ibu berhenti?

Ibunya mulai menyitir ayat dari Al-Quran atau menceritakan kisah Nabi ini, atau membacakan hadis ini.

Bisakah ibu simpan saja dongeng ini untuk ibu sendiri? Aku tidak membutuhkannya lagi. Terima kasih. Aku tidak butuh satupun dari ini. Simpan saja kisah ini untuk seseorang yang peduli dan tertarik.

Subhanallah…

“Maa haadzaa illa asathirul awwaliin.” (QS. Al-Ahqaf ayat 17)

Beberapa di antara Anda yang saat ini mendengarkan, sebenarnya sedang mengalami hal ini. Beberapa di antara Anda hidup dalam horor ini di rumah. Tiap kali anak Anda pulang selalu terjadi pertengkaran antara orang tua dan anak.

Himbauan saya yang pertama adalah untuk para anak. Pahamilah saat kamu lakukan ini dan berpikir sedang memperjuangkan kebahagiaanmu, merasa dirimu dalam situasi tertentu dan tak seorang pun memahamimu.

Allah mengerti, dan kesalahan yang kamu lakukan terhadap orang tuamu bukanlah dosa kecil.

“Ulaaikal-ladziina haqqa ‘alayhimul-qaul.” (QS. Al-Ahqaf ayat 18)

Mereka itu orang-orang yang telah ditetapkan keputusan (hukuman) atasnya, keputusan itu layak diterima para pemuda itu.

“Fii umamin qad khalat min qablihim minal jinni wal ins.” (QS. Al-Ahqaf ayat 18)

Ini cerita yang sama untuk semua bangsa Jin dan Manusia, akan selalu ada pemberontak di antara mereka.

“Innahum kaanuu khaasiriin.” (QS. Al-Ahqaf ayat 18)

Mereka selalu merugi, kamu tak akan pernah menang dalam hidupmu.

Kamu menyakiti orang tuamu, membangkang terhadap mereka, kabur dari mereka, melakukan apapun yang kamu suka, berpikir bahwa saya hanya menjalani hidup saya, biarkan saya sendiri, kamu takkan menemukan kebahagiaan.

Kamu akan selalu menjadi pecundang, selalu gagal dalam hidup, akibat penderitaan yang kamu timbulkan pada orang tuamu.

Wajar jika kamu ragu dan mempertanyakan mengapa harus menganut agama ini, bisa dimaklumi. Tapi caramu bersikap kepada orang tuamu itu tidak berperasaan. Mereka memberimu cinta, kasih dan sayang, tapi kamu balas mereka dengan kepedihan.

“Innahum kaanuu khaasiriiin.”

Mungkin kamu tidak seperti yang dicontohkan tadi, lalu apa yang dilakukan Allah?

Wa likullin darajaatu mimma ‘amilu.” (QS. Al-Ahqaf ayat 19)

Dan masing-masing orang dibalas sesuai tingkatan yang mereka kerjakan.

Dengan kata lain ada pembangkang ekstrim, ada yang agak membangkang, ada yang tidak lagi salat, ada yang melakukan hal-hal yang diharamkan. Ada yang sama sekali telah meninggalkan Islam dan sekarang menjelek-jelekkan Islam, Nabi, dan Quran, itu juga bisa terjadi. Allah akan meminta pertanggungjawaban sesuai besarnya dosamu.

Jadi meski Allah memberikan gambaran yang sama ditilik dari ‘skenario terburuk’, bukan berarti siapapun masuk dalam skenario yang sama.

Allah sendiri yang mengatakan itu, “Wa likullin darajaatu mimma ‘amilu, wa liyuwaffiyahum a’maalahum wahum la yuzhlamun.” (QS. Al-Ahqaf ayat 19)

Dan mereka akan dibalas impas sesuai apa yang mereka lakukan, mereka takkan dirugikan.

Seraya kita sudahi, saya alihkan perhatian kepada pada para orang tua yang mungkin saat ini mengalami penderitaan ini,

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menghindarkan semua orang tua kita dari kesulitan ini.

Tapi pertama dan terutama, kenyataan ini bahkan juga menimpa para Nabi. Nuh alaihissalam harus mengalaminya, Ya’qub alaihissalam harus mengalaminya. Ibrahim ‘alaihissalam sangat takut akan hal itu, meskipun dia memiliki anak yang hebat, dia tetap takut sehingga dia berdoa khusus tentang hal itu, “Wajnubniy wabaniyya an na’budal asnaam.” (QS. Ibrahim ayat 35)

Jauhkan diriku dan anak-anakku selamanya dari penyembahan berhala. Begitulah doa Ibrahim ‘alaihissalaam.

Jadi sepertinya kita takkan bebas dari kekhawatiran itu, namun saya akan memberi tahu Anda satu hal. Dalam ayat ini ada suatu isyarah, ada suatu indikasi.

Ketika putra Anda berusia 18, 19, 20, 25, 28, 30 tahun, maka dia sudah dewasa. Mungkin pemuda, mungkin orang dewasa yang sudah matang, mungkin yang membuat kesalahan yang begitu buruk dalam hidupnya, tapi sekali lagi dia sudah dewasa.

Dan saat anak itu, pria atau wanita itu sudah dewasa dan mereka membuat kesalahan dalam hidupnya, apa peran Anda? Anda dan saya harus ingat “rufi’al qalaam”. Pena itu sudah terangkat sejauh itu menyangkut tanggung jawab kita.

Tugas kita adalah membesarkan mereka hingga dewasa, begitu dewasa, mereka langsung bertanggung jawab kepada Allah. Semakin Anda coba mengatur mereka pada usia tersebut, semakin Anda beri tahu mereka apa yang harus dilakukan, semakin Anda suruh anak Anda yang berusia 18, 20, 25 tahun untuk salat, “Salat! Salat!

Semakin jauh mereka dari salat, dan semakin jengkellah mereka.

Mereka akan menjauhkan diri dari Anda, semakin tidak mau tahu dengan Anda.

Mereka akan menemui Anda, ibu yang mencintai mereka, tapi begitu mereka melihat Anda sebelum Anda sempat membuka mulut, “Aduh, ibu mau memberi ceramah tentang salat lagi.

Ibu akan menceramahi saya panjang lebar tentang bertaubat.

Atau saya harus berhenti bicara dengan gadis itu.

Atau saya harus berhenti…. Ya Tuhan saya takkan datang lagi.

Saya pergi saja, saya tidak ingin mengurusi hal ini lagi.

Dan si ibu berkata, “Saya sedang mencoba berdakwah.

Apa yang harus saya lakukan? Tidak berdakwah?

Tidak mengajak anak saya? Tidak memperbaiki mereka?

Sebenarnya cara Anda melakukannya malah memperburuk keadaan. Pahamilah ada dua jenis hubungan antara orang tua dan anak khususnya saat mereka beranjak dewasa.

Pertama hubungan spiritual, dimana Anda memberi mereka saran, nasehat, anjuran. Itu adalah hubungan spiritual.

Kemudian ada hubungan emosional, seorang ibu adalah seorang ibu. Dia mencintai anaknya, meski anak itu adalah manusia terburuk di bumi, dia akan tetap mencintai anaknya.

Dan anaknya itu, meski sudah berusia 45 tahun, ia masih menginginkan dukungan emosional dari ibunya. Dia akan tetap kembali pada ibunya untuk cinta dan kasih sayang.

Dia tetap merasa, “Meski semua orang mengabaikanku,

…ibuku takkan pernah meninggalkanku.

Kedua hal ini, peran Anda sebagai pembimbing spiritual, dan peran Anda sebagai ibu atau ayah, adalah dua hal yang berbeda. Anda harus bisa memisahkan keduanya, dan terkadang saat anak kita membangkang dan menjauh dari Allah, maka mereka tidak butuh Anda sebagai da’i. Mereka tidak memerlukan saran spiritual Anda, karena itu akan semakin menjauhkan mereka. Saat ini mereka hanya butuh Anda sebagai ibu.

Buatkan saja makanan, jangan bicara soal agama sekarang, jangan ungkit dulu. Karena pada kali ke-10 Anda mencobanya apa yang terjadi? Belajarlah dari pengalaman Anda sendiri. Nasihati ayahnya, jangan hilang kesabaran, jangan mulai mengomel. Putra Anda hanya pulang ke rumah sebulan sekali,

Dan saat itupun si ayah malah berkata, “Oh, akhirnya kamu muncul juga!

Dan dia menjawab, “Ini sebabnya saya tidak pulang, …karena ayah bicara seperti ini!

Dan dia menghilang kembali. Apa yang Anda peroleh? Apa yang Anda peroleh?

Ini akan membuat Anda paham posisi Ya’qub ‘alaihissalam, ketika dia dibawakan kemeja berlumur darah dan dia tahu putranya berbohong. Dia mengerti bahwa saat ini tidak ada yang dapat saya lakukan.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya selamanya akan terngiang di telinga semua orang tua yang memiliki anak yang sudah dewasa tapi tidak terkontrol.

“Fa sabrun jamiil, wallaahul musta’aan ‘alaa maa tashifuun.” (QS. Yusuf ayat 18)

Satu-satunya hal baik yang tersisa saat ini adalah kesabaran.

Saya perlu menunjukkan indahnya kesabaran yang baik, meski demikian ada juga kesabaran yang buruk.

Namun kita harus menunjukkan kesabaran yang indah, tetap tersenyum, jaga setidaknya bagian emosional dari suatu hubungan, “Bagaimana kabarmu Nak? Apa kamu makan dengan baik? Apa semua baik-baik saja?

Jangan bawa soal agama dulu, jaga saja hubungan ini dulu. Mengapa? Mengapa saya berkata begitu?

Karena shaitan akan datang kepada pemuda atau pemudi naif itu, dan berkata pada mereka, “Orang tuamu membencimu, mereka selalu mengkritikmu, mengomelimu, dan menceramahimu! Lupakanlah mereka! Hiduplah sesukamu! Pergilah! Mereka tidak mencintaimu. Jika mereka mencintaimu, apa mereka akan bicara padamu seperti ini?!

Dan pemuda atau pemudi itu akan pergi semakin jauh.

Tugas Anda sebagai orang tua pada masa kini mungkin lebih sulit daripada terbangun di tengah malam untuk mengganti popok mereka, membawa mereka ke rumah sakit saat demam tinggi pada pukul 2:00 dinihari, dan menyiapkan mereka dan perlengkapan sekolah mereka.

Tahun-tahun yang melelahkan itu sebenarnya jauh lebih mudah. Apa yang diminta dari Anda sekarang jauh lebih sulit, yakni menunjukkan kesabaran yang baik. Atau mungkin mencari sumber nasehat lain selain Anda. Mungkin Anda perlu orang lain untuk menasehati mereka.

Terkadang anak-anak kita seperti terprogram pada usia tertentu – Anda dan saya dulu juga demikian – Kita bersedia mendengarkan nasehat siapapun selain ayah kita.

Jika itu dari ayah kita, kita sudah merasa jengkel bahkan sebelum dia buka mulut. Ibu Anda menyuruh Anda menyimak suatu video, “Dengarkan syekh ini, dengarkan ini!

Ya Tuhan, ibu mulai lagi. Saya tidak mau…

Ada beberapa orang yang menemui saya, “Anda tahu saya benci pada Anda, saya benci pada Anda!

Apa yang sudah saya lakukan?” tanyaku.

Bukan Anda, ibu saya selalu memaksa saya.

…menonton video Anda, saya tak tahan dengan Anda.

Tolong jangan paksa anak Anda menonton video saya. Saya mohon… saya sungguh-sungguh. Itu hanya akan membuat mereka semakin menjauh, sama sekali tidak membantu.

Jangan sumbatkan agama ke tenggorokan mereka, jadilah orang tua saja bagi mereka, jadilah orang tua saja bagi mereka. Sesakit apapun rasanya, se-pembangkang apapun mereka, saat ini mereka butuh hal lain dari Anda.

Jadi saya tinggalkan Anda dengan yang berikut ini. Bahkan Luqman, yang memiliki nasehat terpanjang tentang peran orang tua di dalam Al-Quran. Tidak ada surat lain di dalam Al-Quran tentang peran orang tua yang serinci itu.

Bahkan pada kasus Luqman radiyallahu anhu sebenarnya relatif singkat. Tapi perhatikan bagaimana Allah ‘Azza wa Jalla menggambarkan satu bagian saja.

“Idz qaala Luqmanu libnihi wa huwa ya’idzuhu.” (QS. Luqman ayat 13)

Ada banyak persyaratan di situ. Ketika saat itu Luqman berkata kepada putranya, ketika dia berada dalam posisi untuk menasehati putranya. Dengan kata lain Luqman tidak asal terus-terusan menceramahi putranya, dicarinya saat yang tepat, kesempatan yang tepat.

Dipikirkannya kesempatan yang tepat sebelum berkata, “Ya bunayya laa tusyrik billah.” (QS. Luqman ayat 13)

Putraku, jangan remehkan Allah, jangan sekutukan Allah. Dia tidak terus menerus menceramahi putranya,
“wa huwa ya’idzuhu” adalah “haliyyah” (istilah bahasa Arab). Menunjukkan dia penuh strategi.

Jika kesempatan itu muncul, bagus. Jika belum, tunggulah saat yang tepat, bersabarlah.

Para orang tua di antara hadirin sudah sangat paham, Anda sudah sering mengalami konflik dan perdebatan. Bahkan mungkin sampai ada yang bergegas keluar rumah, membentak, berteriak, atau membanting pintu. Anda sudah tahu, jika percakapan seperti itu terulang lagi akan berakhir sama. Bijaklah, jangan kembali terjebak dalam situasi tersebut.

Saya tidak ingin menjadi orang tua yang mengatakan, “Waylaka aamin.

Sampai ke titik di mana saya hilang kendali, lalu menyumpahi, membentak, atau meneriaki anak saya sendiri. Saya tidak ingin mendengar anak saya berkata bahwa agama ini hanyalah dongeng masa lalu. Mereka mengatakannya bukan karena tidak percaya, tapi karena jengkel dengan orang tuanya. Mereka sudah tidak tahan lagi. Konflik ini, ketegangan ini perlu segera diredakan.

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita orang tua yang lebih bijaksana, dan memberi kita anak yang patuh. Semoga Allah melembutkan hati kita dan anak-anak kita terhadap agamaNya. Dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla meringankan penderitaan keluarga yang bermasalah dengan anaknya. Dan semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberi anak mereka akal sehat dan hidayah agar mau kembali ke jalanNya dan bertaubat.

Barokalloohu lii wa lakum wa fil qur’aanil hakiim, wa nafa’nii wa iyyakum bil ayaati wa dzikril hakiim.

Subtitle: NAK Indonesia | Donasi: https://kitabisa.com/nakindonesia

2 thoughts on “[Transkrip Indonesia] Prinsip Qurani Dalam Mendidik Anak – Oleh Nouman Ali Khan

Leave a comment