Kulwap Peran Ayah Dalam Pendidikan – Ustadz Harry Santosa


Kulwap SSS (26 April 2017)

Tema: Peran Ayah dalam Pendidikan
Pembicara: Harry Santosa
Pengisi Kulwap: Agung

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bismillahirrahmanirrahim.

Peran Ayah dalam Pendidikan

Al Quran lebih banyak mencatat peran Ayah dalam mendidik anak-anaknya. Dialog dialog indah antara Orangtua dan Anak di dalam Al Quran adalah dialog antara Ayah dan Anak. Lihatlah betapa indah dialog Luqmanul Hakim dan anaknya, betapa indah dialog Ibrahim AS dengan ananda Ismail AS.

Yaa Bunayya (wahai ananda)” jika dilihat sepintas orang menyangka itu panggilan lembut seorang bunda pada anaknya namun ternyata begitulah Al Quran merekam dialog para ayah sejati memanggil lembut anak-anaknya.

Riset riset membuktikan peran keayahan (fatherhood) di sepanjang sejarah pada suku suku yang ada di muka bumi dalam mendidik menunjukan peran yang dominan. Bahkan sejak bermain, membacakan kisah, sampai kepada menuturkan narasi-narasi besar peran keluarga dalam peradaban adalah tugas para ayah.

Bermain dengan ayah, disimpulkan sebagai bentuk membangun sikap dalam bersosial anak anaknya.

Perintah bermain kepada anak, justru lebih ditekankan kepada ayah. “Barang siapa yang memiliki anak, hendaknya ia bermain dengannya dan menjadi sepertinya. Barangsiapa yang membuat anaknya bahagia maka pahalanya setara dengan membebaskan budak sahaya, dan barang siapa membuat anaknya tertawa, maka pahalanya setara dengan orang yang menangis karena takut kepada Allah.

Jadi bukan tanpa alasan ketika banyak pakar pendidikan menyatakan bahwa tugas utama seorang ayah bukanlah mencari nafkah, namun mendidik anak-anaknya. Maka diperlukan kemampuan mencari nafkah yang smart, agar sang Ayah tidak meninggalkan peran mendidiknya di dalam keluarga.

Jadi apa sesungguhnya peran Ayah?

1. A Man of Mission and Vision

Para ayah adalah pembuat misi keluarga, yaitu peran spesifik keluarga dalam peradaban. Lihatlah di dalam Al Quran bagaimana Nabi Ibrahim AS adalah sang pembuat misi keluarga. Misi keluarga beliau diabadikan dalam doa-doanya.

2. Pensuplai Ego

Seorang ayah diperlukan kehadirannya sebagai pensuplai Ego bagi anak anaknya. Supply ego ini memberikan kemampuan “leadership” bagi anak anaknya, sementara ibu pemberi supply Emphaty atau “followership”.

Ayah dengan hadir dalam keluarga akan memberi keteladanan melalui sikap sikap yang berangkat dari fitrah keayahannya dengan menunjukkan ketegasan, pembelaan pada keluarga, ketegaan yang penuh cinta dll adalah supply ego yang berkesan bagi anak.

3. Pembangun Struktur Berpikir Dan Rasionalitas

Ayah dengan rasionalitas berfikirnya, berkontribusi membangun struktur berfikir bahkan inovasi di rumahnya atau di keluarganya. Kalau Ibu memberikan kemampuan emosional.

Alangkah baiknya jika keluarga memiliki family knowledge atau kearifannya sendiri yang diwariskan turun temurun.

4. Pensuplai Maskulinitas

Para ayah diperlukan kehadirannya untuk memberikan suplai maskulinitas baik anak lelaki maupun anak perempuan. Ayah dan Ibu harus hadir sepanjang usia anak sejak 0-15 tahun (Aqil Baligh). Anak lelaki pada usia 7-10 tahun memerlukan lebih banyak kedekatan pada ayahnya untuk menguatkan konsep fitrah kelelakiannya menjadi potensi peran seorang lelaki sejati.

5. Ayah Sang Raja Tega

Pada usia 10 tahun ke atas, anak anak perlu diuji kemandirianya, keimanannya dgn beragam program, nah para ayahlah sang raja tega yang mampu memberikan tugas tugas berat untuk menguatkan potensi potensi anak menjadi peran peran peradabannya kelak. Dalam hal ini ibu sebagai “sang pembasuh luka” yang memberi penawar bagi keletihan dan obat bagi luka dalam menjalani ujian.

6. Ayah Penanggungjawab Pendidikan

Sesungguhnya ayahlah penanggungjawab pendidikan, yang merancang arah dan tujuan pendidikan keluarganya sesuai misi keluarganya. Ibulah yang kelak mendetailkannya menjadi proyek atau kegiatan harian.

Secara fitrah bahasa, wanita lebih cerdas bahasa dibanding para lelaki. Wanita bicara 50rb sampai 70rb kata perhari, jadi ibu memang lebih banyak membersamai anak.

7. Ayah Konsultan Pendidikan

Melihat bahwa seorang lelaki “single tasking” dibanding wanita yang “multi tasking”, para ayah tidak bisa terlalu banyak turun dalam hal detail, bahkan mereka perlu lebih banyak berada di luar masalah agar bisa memberikan solusi yang jernih bagi para ibu yang dalam kesehariannya sudah dipenuhi banyak masalah dalam mendidik.

Para ayah yang tidak mau atau sulit terlibat dalam proses mendidik anak anaknya, umumnya adalah para ayah yang tidak selesai dengan dirinya atau tidak bahagia menjalani karirnya walau sukses sekalipun, jadi mereka harus dibantu agar kembali fitrahnya dan banyak didoakan.

Forum-forum keayahan harus banyak dibuat untuk membekali keyakinan dan kemampuan para ayah dalam mendidik anak anaknya. Komunitas ini juga harus bergerak membangun ekonomi bersama agar para ayah dapat mencari nafkah lebih smart.

Salam Pendidikan Peradaban

#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#fitrahbasededucation

Harry Santosa

Pertanyan ke-1:

Saya mau tanya. Kalau misalnya ketika kecil ayah ga menjalankan peran-peran di atas. Ketika anak sudah besar terasa ada yang salah dengan anaknya. Bagaimana cara memperbaikinya ya pak?

Jawaban:

Peran adalah tugas, jika peran tuntas (accomplished) maka maksud penciptaan (beribadah dan menjadi khalifah) tercapai.

Jika peran atau tugas sebagai ayah tidak tuntas maka bukan hanya “terasa” ada yang salah, namun ayah akan menuai banyak masalah dari anak anaknya pada usia di atas 14 tahun, ketika melalaikan perannya ketika ananda di bawah 15 tahun.

Banyak ayah sibuk mengumpulkan harta dengan meninggalkan pendidikan anak anaknya ketika kecil, kemudian hartanya habis untuk membereskan berbagai masalah yang ditimbulkan anak anaknya ketika remaja.

Maka recovery-nya membutuhkan effort lebih besar, diantaranya adalah harus mengulang prosesnya, namun lebih intensif dan memerlukan bantuan komunitas atau jamaah.

Pertanyaan ke-2:

Bapak saya boleh bertanya memperjelas poin pertama? Man of Vision and Mision. Meskipun pembuat misi keluarga, tetapi sebenarnya itu tetap keluar/dihasilkan dari musyawarah dengan istrinya kan yah, Pak? Saya pernah mengikuti program pranikah dan diberi tahu jika nanti, saat telah menikah keduanya akan berdiskusi merging/ atau intinya mengadaptasikan kedua plan yang dipegang suami istri saat masih sendiri. Tidak fixed sumber hrus dari suami tanpa melihat istrinya kan yah?

Jawaban:

Tentu kelak akan merancang misinya bersama istrinya bahkan anak anaknya. Namun responsible membuat misi dan visi keluarga tetap pada Ayah. Jadi di dalam keluarga perlu dipahamai derajat tanggungjawab dalam RACI matriks.

RACI adalah responsible, akuntabel, consulted dan inform.

Responsible Misi dan VIsi Ayah

Akuntable bersama dan Ibu pelaksana
Consulted Ibu (membreakdown)
Inform bersama

Pertanyaan ke-3:

Menyambung pertanyaan di atas, Pak..

Bagaimana cara berdialog terhadap anak ketika dirasa sang anak sudah tidak percaya lagi peran ayahnya sendiri (karena mungkin si anak merasa tidak tercukupi atau merasa ketidak hadiran peran dari sosok ayah)..

Jawaban:

Dialog yang baik terjadi ketika ada “relasi yang kuat” sehingga terbangun trust. Jika tidak ada kepercayaan sang anak maka dialognya harus dimulai dengan niat memperbaiki relasi dahulu, kemudian menggali kebutuhan anak dengan empati yang dalam, ketika membangun narasi masa depan bersama yang kuat.

Pertanyaan ke-4:

Bagaimana cara membenahi pola asuh dan pola pikir suami terhadap anak, suami terlalu memanjakan anak sedangkan istri dalam memberikan sesuatu atau keinginan anak itu harus ada prestasi dulu.

Jawaban:

Pola asuh dan pola pikir dalam mendidik berangkat dari pemahaman yang kokoh tentang pentingnya fitrah peran ayah & ibu, fitrah diri (misi pribadi), fitrah keluarga (misi keluarga) dan fitrah anak anaknya.

Perbedaan pola mendidik maupu pola pengasuhan terjadi karena tidak adanya kesamaan cara pandang tentang the purpose of creation (maksud penciptaan) dan the mission of life (peran spesifik kehidupan).

Itulah mengapa kesamaan Aqidah menjadi penting dalam pernikahan, agar setidaknya punya kesamaan cara pandang tentang maksud penciptaan dan misi pernikahan. Ini perlu pembahasan khusus.

Kasus perceraian di Indonesia hari ini mencapai angka 36 kasus per jam, penyebabnya adalah tiada kesamaan misi dalam pernikahan dan tiada proses mendidik dalam keluarga.

Pertanyaan ke-5:

Mengenai peran ayah yang sangat besar… bagaimana jika para ayah masih belum punya kesadaran bahwa pendidikan anak juga tanggung jawabnya..

Kadang seperti urusan sekolah, ambil rapor dan acara-acara sekolah anak kadang ayah tidak terlalu menganggap itu penting…

Dan sepertinya masih banyak ayah yang tahu, paham dan menjalankan peran ayah yang disebutkan di atas 😊

Jawaban:

Peran pendidikan para ayah tidak selalu terkait dengan persekolahan. Bagi banyak ayah, urusan persekolahan adalah urusan detail yang memang menjadi tugas para Ibu. Tugas atau peran mendidik ayah memang sebaiknya lebih di tataran misi dan kebijakan daripada di tataran teknis.

Pertanyaannya adalah seringkali “menyekolahkan anak” terjadi karena keluarga keluarga menganggap proses mendidik anak selesai ketika anak disekolahkan. Pemilihan sekolah hanya karena pilihan-pilihan yang bersifat teknis daripada strategis yang relevan dengan misi keluarga.

Anda pemilihan sekolah relevan dengan misi keluarga, maka urusan mengambil rapor dan lain-lain akan menjadi bagian dari menjalankan misi keluarga.

Pertanyaan ke-6:

Mau urun tanya Pak Harry, mungkin ini sering ditanyakan.. bagaimana bila sifat-sifat yang diekspektasi bisa diprovide oleh ayah namun karakter ayah tersebut jauh dari peran tersebut? Misalkan ayahnya punya karakter tidak tegaan, tidak ingin berkonflik, selalu mengalah, dan seterusnya, sedangkan ini berlawanan dengan peran pensuplai ego, raja tega, dan seterusnya..

Apakah harga matinya memang ayahnya harus ‘berubah’? Atau ada kiat lain?

Jawaban:

Karakter personal ayah tidak perlu dibenturkan dengan karakter peran seorang ayah. Secara peran, sang ayah perlu berusaha memenuhi peran peran keayahannya. Misalnya Ayah yang karakter bawaannya pendiam, sebaiknya berusaha tidak pendiam ketika menjalankan peran memberi narasi narasi bagi peran peradaban keluarganya kepada anak dan istrinya.

Ayah yang suka harmoni, tidak suka konflik, selalu mengalah, sebaiknya tidak menempatkan karakter bawaannya tsb dalam hal hal terkait kepentingan keluarganya, misalnya diam saja ketika istrinya dilecehkan dstnya.

Itulah mengapa fitrah bakat dan fitrah seksualitas di dalam pendidikan berbasis fitrah dipisahkan menjadi dua entitas yang terpisah walau terkait. Fitrah bakat jika ditumbuhkan akan menjadi peran peran dalam bidang sosial, misalnya sifat suka harmoni, tidak suka konflik dan lain-lain seharusnya menjadi peran pendamai, peran sastrawan, peran guru dll dalam bidang kehidupan. Sementara fitrah seksualitas jika ditumbuhkan dengan benar sesuai tahapannya (ada di framework) kelak akan menjadi peran keayahan atau peran keibuan sejati yang beradab pada keluarga dan keturunannya

Pertanyaan ke-7:

Bagaimana sebagai ayah menghadapi anak yang terlanjur sulit diatur? Si anak kalau makan sesukanya, belum mau sholat, suka marah-marah, bangun tidur semaunya… Yah mungkin memang pendidikannya gak bener. Tapi bagaimana caranya memperbaiki itu?

Jawaban:

Tergantung usianya. Secara umum, jika hal hal di atas terjadi maka prosesnya diulang walau dengan intensitas yg lebih kuat. MIsalnya anak yang masih malas sholat di atas usia 7 tahun maka jangan fokus pada masalahnya. Semakin kita menyuruh sholat, semakin memaksanya maka akan semakin jauh larinya. Bisa saja kita dengan cara keras bahkan mengirim ke pesantren dengan disiplin yang tinggi, namun bukan itu inti masalahnya. Intinya adalah ananda tidak tumbuh fitrah keimanannya kepada Allah ketika usia di bawah 7 tahun. Fitrah keimanan tumbuh baik dengan indikator ghiroh kecintaan yang besar kepada alHaq (Allah, Rasulullah SAW dan Islam).

Umumnya kita hanya fokus pada yang tampak (syariah) namun lupa membangun apa yang tak tampak (aqidah), padahal yang memberi dampak besar adalah yang tak tampak (aqidah), itulah mengapa keimanan kita kepada yang ghaib agar muslim senantiasa tidak berorientasi yang tampak.

Maka ulangi prosesnya, jika masih malas beribadah, maka ghairahkan cintanya kepada Allah melalui keteladanan dan suasana keshalihan yang memberi kesan mendalam, Jika sudah di atas 7 tahun maka dapat dilakukan sunnah Nabi SAW yaitu menginapkan (homestay) anak di keluarga yang shalih, dilibatkan dalam lingkungan yangg shalih dan lain-lain. Syukur-syukur jika mendapat pembimbing ruhani yang relevan bakatnya dengan ananda, maka akan semakin baik perubahannya kelak

Jika anak sudah dewasa tetap sama, tetap sama, diulang prosesnya agar kembali kepada fitrahnya. Tentu makin dewasa, makin banyak fitrah yg menyimpang pasti makin berat effortnya. Kalau sudah besar sosok teladannya lebih banyak dari orang orang hebat di luar rumah.

Kami merekomendasikan sejak anak usia 10 tahun sebaiknya mulai diberikan Murobby (pendamping akhlak) dan Maestro (pendamping bakat).

Pertanyaan ke-8:

Yang ditakutkan dirumah sendiri si anak tidak menemukan sosok teladan yang baik, lalu mencari penggantinya di luar yang kita tidak tahu seperti apa pergaulannya..

Jawaban:

Ini peran komunitas (jamaah) untuk mendidik secara bersama.

Istilah Afrika “It takes a village to raise a child” , kita butuh orang sekampung untuk membesarkan anak
Ulama ulama dahulu di Indonesia sesungguhnya sudah meninggalkan tradisi pendidikan yang luar biasa. Di Minang ada Surau dan Merantau. Anak usia 0-7 tahun full di rumah, usia 7-10 tahun sudah di Surau bersama Labay dan jamaah terutama anak lelaki, usia 11 ke atas sudah merantau dalam komunitas yg lebih luas. Di Aceh ada Meunasah Meudagang dan lain-lain.

Pertanyaan ke-9:

Terkait visi, apakah sampai ditataran general dan hakikat seperti ini saja ustadz, atau sebagai orang tua kita juga berkewajiban men-drive anak-anak kita untuk mengisi role tertentu di dunia ini, misalnya secara khusus kita memproyeksikan anak-anak kita menjadi ulama yang dapat menjadi rujukan ilmu ummat atau pebisnis yang kaya raya yang mampu membiayai project dakwah, dan seterusnya?

Jawaban:

Misi Pernikahan yang kemudian diturunkan menjadi misi pendidikan di keluarga adalah bukan mengantarkan anak kita menjadi profesor atau ulama atau PNS namun mengantarkan anak anak kita, generasi peradaban kepada peran peran peradaban terbaik sesuai dengan potensi unik fitrahnya dengan adab mulia.

Orangtua tetap punya otoritas mengarahkan namun dalam koridor fitrah Ananda.

Pertanyaan ke-10:

Saya jadi teringat kisah parenting ala Ali bin Abu Thalib. Menurut Ali r.a. cara memperlakukan anak berdasarkan usianya ada 3 kelompok, yaitu kelompok usia 0-7 tahun, anak diperlakukan sebagai raja, kelompok usia 8-14 tahun anak diperlakukan sebagai tawanan, dan kelompok usia 15-21 tahun anak diperlakukan sebagai sahabat.

Yang ingin saya tanyakan, apakah ilmu parenting yang diajarkan Ali bin Abu Thalib ini relevan untuk diterapkan dalam kehidupan keluarga?

Jawaban:

Saya membagi tahapan perkembangan sebagai berikut:

– 0-2 tahun, karena ada menyusui
– 3-6 tahun, karena usia 7 tahun mulai orangtua diperintahkan menyuruh anaknya sholat
– 7-10 tahun, karena usia 10 tahun, kamar dipisah dan boleh dipukul (bukan pukulan hukuman) jika tidak sholat
– 11-14 tahun, karena usia 15 tahun disepakati sebagai tahap anak sudah menjadi dewasa penuh (aqilbaligh)
>14 tahun aqilbaligh, anak bukan anak-anak lagi sudah setara orangtuanya dalam memikul beban syariah, nafkah, jihad dll. Orangtua sudah menjadi partner atau mitra.

Pambagian ini ternyata sesuai dengan tahapan Sayidina Ali RA.

Pertanyaan ke-11:

Kalau konsep passion dan atau bakat sendiri dalam Islam bagaimana ustadz? Apakah passion dan fitrah mirip/sama sekali berbeda? Haruskah sebagai orangtua kita memfasilitasinya?

Jawab:

Pertanyaan ke-12:

Ustad, ijin bertanya, teknisnya peran ayah untuk yang sedang hamil sampai usia 0-2 tahun itu seperti apa ya? Apa cukup memastikan rezeki halal saja? Kebetulan saya sedang hamil, saya bilang ke beliau tiap malam coba cerita dengan dekbay dan bacain surah-surah pendek biar si dekbay kenal suara bapaknya. Apa itu cukup ustad? Saya baru mulai belajar ilmu parenting ustadz, apalagi saya mix marriage dan tinggal di negara orang, jadi saya sedikit banyak agak takut ke depannya bagaimana, coba tawakkal saja sama gusti Allah.

Jawaban:

Kehadiran ayah dan ibu dalam pendidikan anak diperlukan sejak dalam kandungan sampai usia 15 tahun (aqilbaligh). secara fitrah seksualitas, kelekatan (attachment) ayah ibu dan anak sangat penting dibangun.

• usia 0-2 tahun lebih didekatkan pada ibunya karena ada menyususi dan mother tongue
• usia 3-6 tahun ananda harus dekat dengan ayah dan ibu, usia 3 tahun anak harus jelas menyebut identitas gendernya
• usia 7-10 tahun anak lelaki didekatkan pada ayah, anak perempuan didekatkan pada ibu, agar memperoleh potensi sesuai gendernya
• usia 11-14 tahun anak lelaki lebih didekatkan ke ibunya, dan anak perempuan lebih didekatkan ke ayahnya.

——–

Yuk bantu dakwah kami! Donasi pengembangan media dakwah NAK Indonesia: https://kitabisa.com/nakindonesia

9 thoughts on “Kulwap Peran Ayah Dalam Pendidikan – Ustadz Harry Santosa

Leave a comment